Minggu, 07 Oktober 2007

PILKADA

Oleh :Akmal Nur
(Anggota Kom Teknik UNM)

Lahirnya Undang – undang tentang otonomi daerah telah membawa harapan bagi bangsa Indonesia tentang sistem kekuasaan yang dulunya sangat terpusat atau sentralisasi menuju desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi konsumsi ditiap daerah dalam mendorong lahirnya sebuah sistem demokrasi yang belakangan dikenal dengan demokrasi lokal. Berbagai tindakan riil dapat kita lihat dari otonomnya pelaksanaan pemerintahan, pemekaran daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan lain-lain. Hal-hal tersebut paling tidak telah membawa masyarakat pada sebuah pembelajaran politik dalam berdemokrasi sekaligus menimbulkan efek-efek sosial yang tidak diinginkan, ini disebabkan karena kesiapan rakyat akan demokrasi masih dalam tahapan pembelajaran. Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat. Adapun demokrasi itu telah mewarnai pertarungan politik ditingkat lokal yang melahirkan desentralisasi politik, sehingga pertarungan kepentingan dalam aras lokal dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat menimbulkan prilaku-prilaku kontradiksi sosial yang secara riil dapat kita lihat dalam berbagai kasus-kasus konflik dan kekerasan pada tingkat lapisan masyarakat.
Berbagai kasus kemudian muncul dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini, kasus pemekaran daerah diberbagai tempat yang melahirkan konflik sosial atau kerusuhan massa. Masih ada dalam ingatan kita tentang pemekaran daerah Polewali Mamasa dan baru-baru ini pemindahan ibukota banggai Sulawesi Tengah, serta berbagai kasus-kasus lain. Belum lagi perkelahian antara pendukung calon pemerintah daerah dalam pilkada diberbagai penjuru tanah air. Kesemuanya itu telah mewarnai pelaksanaan demokrasi lokal. Efek tersebut menimbulkan dua persepsi. Pertama kasus tersebut dilihat dari persepsi epistimologi sehingga dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat masyarakat juga yang akan diuntungkan adapun efek dari hal tersebut itu karena masyarakat dalam tahapan meraba-raba demokrasi yang selama ini di simpan di gudang istana orde baru. Dan persepsi yang kedua dilihat dari konteks aksiologi menganggap hal ini sebagai suatu hal yang tidak wajar karena yang selalu menjadi korban dari penegakan demokrasi adalah rakyat dan yang diuntungkan adalah elit-elit politik lokal. Sehingga dalam mencermati hal tersebut paling tidak kita harus melihat harapan dan kenyataan pelaksanaan demokrasi lokal, sehingga dalam memandang persolan tersebut kita terjebak pada kedua persepsi yang ada.
Harapan
Pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan dalam bentuk pertama dapat menjadi harapan rakyat dalam memajukan daerahnya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan sosial yang selama ini terjadi de era orde baru. Dimana pembangunan tidak merata diseluruh penjuru tanah air. Terdapat daerah yang kaya sumberdaya alam akan tetapi memiliki penduduk yang tidak berkembang sebut saja Papua daerah yang setiap harinya menghasilkan berton-ton emas tetapi penduduknya sampai sekarang masih menggunakan koteka. Serta berbagai daerah lain yang memiliki nasib yang sama. Dengan adanya peluang demokrasi lokal yang lahir dari kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat mengatasi itu semua. Kedua Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan dapat menjadi kanter lapis kedua terhadap hegemoni pihak asing dalam melakukan infasi ekonomi dan budaya. Kuatnya pengaruh asing dalam konteks sekarang ini mengharuskan kekuatan struktur kenegarahan dalam posisi pertahanan yang lebih kokoh. Hadirnya pemerintah daerah yang otonom dalam mengurusi daerahnya, mempunyai peluang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan yang dapat mengkanter infasi bangsa asing. Kebijakan perekonomian misalnya dapat diatur dalam peraturan daerah (PERDA) yang dapat menguntungkan rakyat secara umum. Ketiga Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan peluang akan kesadaran politik masyarakat semakin besar. Dimana akses-akses untuk menyampaikan aspirasi politik semakin jelas. Hal ini berbeda pada zaman orde baru dimana daerah tidak terlalu banyak merealisasikan keinginan masyarakat karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan mampu melahirkan pemimimpin daerah yang memiliki legitimasi politik masyarakat yang kuat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PILKADA).
Kenyataan
Implementasi demokrasi lokal tidaklah sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, justru dampak yang kita lihat semakin memperburuk tatanan sosial masyarakat yang selama ini hidup secara damai dan tentram. Salah satu contoh adalah pelaksanaan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Hampir di berbagai daerah Indonesia dalam menyelenggarakan pilkada diwarnai konflik dan kerusuhan dari pihak yang kalah dan menang dalam pelaksanaannya. Bahkan tak jarang kita menyaksikan diberbagai media aksi kekerasan yang dilakukan menimbulkan berbagai korban jiwa. Menyalahkan masyarakat yang melakukan aksi tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya benar, karena sekali lagi aksi yang dilakukan masyarakat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap apa yang mereka lakukan, mereka hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan oleh elit-elit politik ditingkat lokal. Tak jarang juga kita saksikan berbagai praktik politik busuk dipraktikkan dalam pelaksanaan demokrasi tersebut seperti politik uang, penggelembungan suara, pembusukan nama calon dan sebagainya. Hal itu wajar terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena menurut iblis di negeri ini tidak ada yang gratis dan politik memang tidak mengenal salah dan benar tetapi semuanya benar.
Salah satu fakta lagi yang dapat kita saksikan dari besarnya dampak pelaksanaan demokrasi lokal adalah lahirnya elit-elit baru atau penindas baru ditingkat lokal. Beberapa daerah yang telah melaksanakan salahsatu pesta demokrasi (Pilkada), serta menerapkan konsep otonomi daerah secara prosedural justru merasakan kondisi yang sama dengan sebelum pelaksanaan tersebut, bahkan sebahagian daerah memiliki kondisi yang lebih buruk, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang ingin memberikan keamanan, kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat kita bisa menyaksikan dari pertumbuhan kemiskinan yang semakin hari semakin melonjak di beberapa daerah, kekerasan massa yang sewaktu-waktu dapat meledak baik setelah pilkada maupun sebelumnya. Semua itu disebabkan karena desentralisasi kekuasaan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi penindas-penindas baru ditingkat lokal baik itu sebagai pemain politik busuk untuk melayani kepentingan pribadinya maupun untuk menghamba kepada kepentingan para pemodal yang telah membiayai kampanye politiknya, sehingga rakyatlah yang harus menanggung itu semua.
DIMANA KAUM INTELEKTUAL
Mengharapkan peran kaum intelektual dalam setiap problem kebangsaan adalah sautu hal yang harus kita lakukan, karena bagaimanapun perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran kaum intelektual. Namun dalam konteks sekarang ini intelektual itu bukanlah suatu hal yang sangat diharapkan karena justru yang menghancurkan juga negeri ini adalah kaum intelektual juga. Sehingga kita harus membedakan antara intelektual picisan dan intelektual organic. Begitupula dalam konteks kemahasiswaan yang selama ini disebut bagian orang-orang intelektual atau idealis, justru sebahagian besar adalah pelacur-pelacur intelektual di negeri ini. Kalau yang ada di tempat lokalisasi, mungkin hanya maaf menjilat pantat-pantat pejabat yang datang akan dan tidak terlalu merugikan kepentingan umum akan tetapi pelacur intelektual sudah menjelit pantatnya pejabat malah merugikan lagi rakyat.
Dalam pelaksanaan pilkada misalnya, tidak sedikit orang-orang intelektual bahkan mahasiswa yang terlibat menjadi team sukses yang nyata-nyata diketahui bahwa politik yang dilaksanakan adalah politik busuk sebagaimana indikator di atas. Belum lagi aksi-aksi yang mereka lakukan justru mendukung kebijakan pemerintah daerah yang melakukan pemerasan terhadap rakyat. Hal ini justru menyurutkan harapan kita akan peran kaum intelektual atau mahasiswa dalam perbaikan pelaksanaan demokrasi lokal. Sedikit untuk mengurangi kejengkelan kita mengatakan bahwa wajar negeri ini banyak pelacurnya intelektualnya, negaranya sendiri adalah Negara pelacur intelektual, lihat saja pemerintah telah menyetujuai resolusi PBB tentang sanksi iran yang telah menjilat pantat AS.
Akan tetapi tumbuhnya api perlawanan intelektual atau mahasiswa organic yang minoritas itu adalah harapan kita semua. Pertama kita masih mengharapkan kepada mereka akan pengawalannya terhadap pelaksanaan demokrasi lokal, paling tidak dengan senantiasa mengungkap dan mendiskusikan kebusukan-kebusukan politik yang ada pada lokalitas daerahnya masing-masing. Dari diskusi itulah pengawalan akan harapan demokrasi lokal dapat kita manfaatkan menjadi peluang untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, dengan berusaha meminimalisir segala efek yang ada. Kedua kita juga masih mengharapkan adanya sikap kelembagaan mahasiswa kalau memang orang-orang yang duduk disana belum terkontaminasi oleh penguasa lokal yang menindas, untuk mengambil sikap yang jelas terhadap kepemihakan terhadap rakyat. Paling tidak menjadi motifator, inspirator, katalisator, dan profokator kalau perlu. Kita tunggu…………